Selasa, 29 Juni 2010

Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentingan FPI


Judul       : Gerakan Islam Simbolik; Politik Kepentingan FPI
Penulis   : Al-Zastrouw Ng
Penerbit : LKiS, Yogyakarta
Tahun     : 2006
Genre    : Organisasi Masyarakat
Tebal     : 192 Halaman
ISBN    : 979-25-5254-5


Realitas historis membuktikan, sejak masa klasik sampai sekarang, gerakan dan pemikiran Islam selalu dipengeruhi dinamika sosial-politik, ekonomi dan budaya tertentu. Lebih-lebih konfigurasi politik pemerintah yang berkuasa.

Dinamika sosial-politik pasca runtuhnya tembok militeranisme 21 Mei 1998 silam, turut memberikan benih stimulasi tumbuh-suburnya gerakan Islam di Indonesia. Salah satu gerakan, yang selama sekian tahun dibungkam kekuatan penguasa otoriter Orde Baru, adalah gerakan Islam radikal-fundamentalis. Kini, gerakan Islam ini mulai mendapat ruang cukup luas dan leluasa untuk menampakkan geliatnya. Akhirnya, suasana politik yang makin terbuka dan kontrol negara yang kian lemah membuat kelompok ini kian berani menyuarakan aspirasi dan mengekspresikan gerakannya. Ekspresi ajaran Islam melalui simbol-simbol formal pun kentara ke permukaan.

Masalah Kebebasan Beragama dan Sikap Anti-Amerika


Menurut Sachedina, karena dorongan kuat dan ambisi politik untuk menaklukkan suku dan negara lain, (sebagian) ulama waktu itu—terutama para “ulama negeri” yang menjadi “pelayan” khalifah atau pegawai kerajaan Islam—kemudian mulai menafsirkan teks-teks keislaman dan ayat-ayat Alqur’an yang disesuaikan dengan “kebutuhan politik” dan “nafsu kekuasaan” para penguasa dan rezim Muslim. Sejak saat itulah kata “kafir” mulai ditafsirkan secara serampangan sebagai “non-Muslim” (bisa Kristen, Yahudi, atau agama-agama lokal) sehingga “halal” untuk ditumpas.

Meskipun setiap orang ingin bebas dan selalu mendambakan sebuah kebebasan—termasuk kebebasan beragama (religious freedom)—akan tetapi, ironisnya, tidak semua orang mau memberikan kebebasan itu kepada orang lain. Dalam konteks Islam, misalnya, walaupun kebebasan beragama dan sikap beragama yang inklusif-pluralis adalah sesuatu yang inheren dalam agama ini, diakui secara verbal dalam Alqur’an, dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad, namun, anehnya, tidak semua kaum Muslim bersedia menjalankan ajaran Islam yang sangat fundamental ini.

Bahkan bagi kelompok Islam militan-puritan tertentu, membersihkan kelompok keagamaan dan keislaman di luar mainstream mereka dianggap sebagai bagian dari “misi suci” atau “jihad fi sabilillah” yang berpahala. Realitas inilah, antara lain, yang menyebabkan terjadinya konflik dan kekerasan antara (sebagian) kaum Muslim dengan umat lain sehingga menjadikan indeks toleransi dan kebebasan beragama di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim sangat rendah dan memprihatinkan. Cermin atas rendahnya kesadaran kaum Muslim dalam hal kebebasan beragama ini terlihat dalam laporan International Religious Freedom Report 2008 yang dikeluarkan Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, U.S. Department of State serta beberapa lembaga survey terkemuka di Amerika seperti The Pew Forum on Religion and Public Life dan Freedom House.

***

Lebih lanjut, alih-alih melaksanakan ajaran Kanjeng Nabi tentang pentingnya menghormati keyakinan orang lain dan vitalnya menjaga doktrin kebebasan beragama, beberapa ormas dan kelompok Islam militan-konservatif justru menuduh ajaran pluralisme dan kebebasan beragama ini sebagai produk kebudayaan sekuler Barat—khususnya Amerika—yang “kafir”. Padahal jauh sebelum founding fathers Amerika merumuskan Bill of Rights tahun 1789 yang dianggap sebagai dokumen “konstitusi tertulis tertua di dunia” yang salah satu pasalnya memuat tentang ajaran kebebasan beragama, Nabi Muhammad sudah memprakarsai pembentukan “Piagam Madinah” yang menanamkan pentingnya menjaga solidaritas keagamaan. Alqur’an yang turun lebih dari empat belas abad yang lalu juga dengan jelas mendeklarasikan tentang pentingnya kebebasan beragama dan sikap beragama yang terbuka-toleran-pluralis sebagai basis menjalin hubungan antar dan intra umat beragama serta dasar membangun peradaban dan kebudayaan manusia yang peaceful dan peka terhadap perbedaan dan kemajemukan.

Kamis, 24 Juni 2010

Mengukuhkan Aspek Kemanusiaan Agama*

Oleh: M. Abdul Hady JM**
Pola keberagamaan seseorang sejatinya baru dapat dinilai ideal dan utuh (kaffah) apabila dibarengi upaya serius bagi pemihakan terhadap orang-orang yang tesisihkan (mustad’afin). Dengan kata lain, tingkat kesalehan ritual-formal-individual haruslah bersinergi dengan kesalehan sosial dan perhatian terhadap aspek kemanusiaan.

Pada hakikatnya, semua agama diturunkan untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Dalam rumusan Imam al-Syathibi, agama disebut sesuatu yang ”bersumber dari Tuhan tapi diperuntukkan bagi manusia” (Ilâhiyatul masdhar wa insâniyyatul maudhû’).
Rumusan ini mengandaikan bahwa pola keberagamaan yang ideal adalah terjadinya pergulatan antara pemenuhan kepentingan Tuhan dan manusia. Ini juga berarti bahwa pelaksanaan ritual-formal-individual agama harus bersinergi dengan upaya pembelaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, Moeslim Abdurrahman (2005) menandaskan bahwa “kemungkaran sosial lebih berbahaya secara kemanusiaan daripada kelalaian ritual normatif”.


Kini, fenomena religiusitas masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Gairah religiusitas masyarakat mengalami eskalasi yang sangat menggembirakan. Namun, tingkat korupsi juga semakin mengharu-biru. Ini kenyataan yang ironis, karena kenyataan itu terjadi di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta beberapa tahun lalu menunjukkan fakta keberagamaan yang memperihatinkan. Ternyata, kini korupsi yang merajalela justru terjadi tatkala masyarakat semakin santri. Masyarakat Indonesia kini semakin taat secara ritual-formal keagamaan. Korupsi tak terbendung meski masjid makin penuh-sesak, dan jamaah yang menunaikan haji semakin membludak.


Selama ini ada asumsi umum cukup kuat di tengah masyarakat bahwa substansi agama terletak pada ritual-formal-individual setiap pemeluk agama. Amalan-amalan ritualistik ini diyakini sebagai kunci penting menuju surga. Ia akan membawa pada keselamatan dan kebahagiaan eskatologis yang abadi. Akibat pola pemahaman agama semacam ini, seseorang yang makin saleh secara ritual keagamaan justru semakin tak peduli dan apatis terhadap persoalan kemanusiaan.

Belajar Agama Secara Mendalam dan Terprogram Ustadz Menjawab


ketegori Ustadz Menjawab. Pak Ustadz, kalau dipikir-pikir semenjak saya aktif dalam dunia dakwah, memang ada satu hal yang agak menggelitik hati. Yaitu kurangnya porsi buat saya dalam mendapatkan materi yang terkait dengan detail ilmu syariah. Sebagai karyawan yang diwajibkan masuk jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore, rasanya habislah waktu saya dan tidak ada lagi kesempatan buat belajar mendalami Islam. Sedangkan pengajian, liqo’ dan banyak even taklim lainnya, rasanya masih belum bisa menampung kebutuhan ilmu agama. Lalu gugurkah kewajiban kita untuk mendalami ilmu-ilmu agama? Sudah cukupkah buat orang seperti saya sekedar belajar ngaji mingguan, atau sebulan sekali atau kalau ada even keagamaan saja?
Adakah solusi yang bisa ustadz tawarkan buat saya? Terutama untuk kami yang jumlahnya cukup banyak dan tergabung di dalam sebuah bidang kerohanian Islam di sebuah kantor swasta. Terima kasih atas masukan dari ustadz.
Wassalam,
Muhammad Al-fatih
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh,Alhamdulillah wash-shalatu wassalamu ‘ala rsulillah, wa ba’du
Terus terang memang harus kita akui bahwa pola pengajaran materi-materi ke-Islaman, apalagi yang terkait dengan ilmu-ilmu syariah buat bangsa kita cukup lemah. Selain dari sistem pendidikan nasional yang sangat tidak memperhatikan pelajaran agama, sehingga hanya 2 jam saja dalam sepekan, juga secara umum pemenuhan kebutuhan ilmu agama di tengah masyarakat memang bisa dikatakan termasuk sangat kecil.
Di kantor-kantor sekarang ini memang ada semangat untuk mengadakan pengajian, baik seminggu sekali ataupun sebulan sekali. Meski lumayan sudah ada namun kalau dilihat dari kurikulumnya memang masih sangat kurang. Apalagi ada semacam kebiasaan untuk mengundang nara sumber bergonta-ganti. Sehingga kurang terjadi penguasaan masalah secara mendalam.
Belum lagi dari segi kapasitas keilmuan yang tidak ada standarisasinya. Bahkan seringkali seorang pengisi pengajian tidak punya latar belakang pendidikan ilmu syariah yang mumpuni. Bahkan tidak jarang, sekedar membuka kitab berbahasa Arab pun tidak dikuasai.
Walhasil, kalau kita mengharapkan pengajian model kantor yang seperti itu bisa melahirkan orang-orang yang paham detail ilmu agama, mungkin agak berlebihan. Sebab ilmu agama itu lumayan luas dan banyak, tidak cukup hanya disampaikan seminggu sekali. Apalagi tidak punya konsep kurilulum kajian yang terpaket, maka perasanaan gersang dan kurang seperti yang Anda sebutkan itu cukup beralasan.
Idealnya kalau kita ingin menguasai secara penuh tentang ilmu-ilmu keislaman, kita perlu masuk ke sebuah pesantren dan tinggal di dalamnya selama sekian tahun. Atau mendaftarkan diri menjadi mahasisw sebuah perguruan tinggi Islam yang secara intensif mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Tentu saja para tenaga pengajarnya harus dosen yang menguasai ilmunya