Kamis, 24 Juni 2010

Mengukuhkan Aspek Kemanusiaan Agama*

Oleh: M. Abdul Hady JM**
Pola keberagamaan seseorang sejatinya baru dapat dinilai ideal dan utuh (kaffah) apabila dibarengi upaya serius bagi pemihakan terhadap orang-orang yang tesisihkan (mustad’afin). Dengan kata lain, tingkat kesalehan ritual-formal-individual haruslah bersinergi dengan kesalehan sosial dan perhatian terhadap aspek kemanusiaan.

Pada hakikatnya, semua agama diturunkan untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Dalam rumusan Imam al-Syathibi, agama disebut sesuatu yang ”bersumber dari Tuhan tapi diperuntukkan bagi manusia” (Ilâhiyatul masdhar wa insâniyyatul maudhû’).
Rumusan ini mengandaikan bahwa pola keberagamaan yang ideal adalah terjadinya pergulatan antara pemenuhan kepentingan Tuhan dan manusia. Ini juga berarti bahwa pelaksanaan ritual-formal-individual agama harus bersinergi dengan upaya pembelaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, Moeslim Abdurrahman (2005) menandaskan bahwa “kemungkaran sosial lebih berbahaya secara kemanusiaan daripada kelalaian ritual normatif”.


Kini, fenomena religiusitas masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Gairah religiusitas masyarakat mengalami eskalasi yang sangat menggembirakan. Namun, tingkat korupsi juga semakin mengharu-biru. Ini kenyataan yang ironis, karena kenyataan itu terjadi di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.

Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta beberapa tahun lalu menunjukkan fakta keberagamaan yang memperihatinkan. Ternyata, kini korupsi yang merajalela justru terjadi tatkala masyarakat semakin santri. Masyarakat Indonesia kini semakin taat secara ritual-formal keagamaan. Korupsi tak terbendung meski masjid makin penuh-sesak, dan jamaah yang menunaikan haji semakin membludak.


Selama ini ada asumsi umum cukup kuat di tengah masyarakat bahwa substansi agama terletak pada ritual-formal-individual setiap pemeluk agama. Amalan-amalan ritualistik ini diyakini sebagai kunci penting menuju surga. Ia akan membawa pada keselamatan dan kebahagiaan eskatologis yang abadi. Akibat pola pemahaman agama semacam ini, seseorang yang makin saleh secara ritual keagamaan justru semakin tak peduli dan apatis terhadap persoalan kemanusiaan.

Belajar Agama Secara Mendalam dan Terprogram Ustadz Menjawab


ketegori Ustadz Menjawab. Pak Ustadz, kalau dipikir-pikir semenjak saya aktif dalam dunia dakwah, memang ada satu hal yang agak menggelitik hati. Yaitu kurangnya porsi buat saya dalam mendapatkan materi yang terkait dengan detail ilmu syariah. Sebagai karyawan yang diwajibkan masuk jam 8 pagi dan pulang jam 5 sore, rasanya habislah waktu saya dan tidak ada lagi kesempatan buat belajar mendalami Islam. Sedangkan pengajian, liqo’ dan banyak even taklim lainnya, rasanya masih belum bisa menampung kebutuhan ilmu agama. Lalu gugurkah kewajiban kita untuk mendalami ilmu-ilmu agama? Sudah cukupkah buat orang seperti saya sekedar belajar ngaji mingguan, atau sebulan sekali atau kalau ada even keagamaan saja?
Adakah solusi yang bisa ustadz tawarkan buat saya? Terutama untuk kami yang jumlahnya cukup banyak dan tergabung di dalam sebuah bidang kerohanian Islam di sebuah kantor swasta. Terima kasih atas masukan dari ustadz.
Wassalam,
Muhammad Al-fatih
Jawaban
Assalamu ‘alaikum warahmatullahi wa barakatuh,Alhamdulillah wash-shalatu wassalamu ‘ala rsulillah, wa ba’du
Terus terang memang harus kita akui bahwa pola pengajaran materi-materi ke-Islaman, apalagi yang terkait dengan ilmu-ilmu syariah buat bangsa kita cukup lemah. Selain dari sistem pendidikan nasional yang sangat tidak memperhatikan pelajaran agama, sehingga hanya 2 jam saja dalam sepekan, juga secara umum pemenuhan kebutuhan ilmu agama di tengah masyarakat memang bisa dikatakan termasuk sangat kecil.
Di kantor-kantor sekarang ini memang ada semangat untuk mengadakan pengajian, baik seminggu sekali ataupun sebulan sekali. Meski lumayan sudah ada namun kalau dilihat dari kurikulumnya memang masih sangat kurang. Apalagi ada semacam kebiasaan untuk mengundang nara sumber bergonta-ganti. Sehingga kurang terjadi penguasaan masalah secara mendalam.
Belum lagi dari segi kapasitas keilmuan yang tidak ada standarisasinya. Bahkan seringkali seorang pengisi pengajian tidak punya latar belakang pendidikan ilmu syariah yang mumpuni. Bahkan tidak jarang, sekedar membuka kitab berbahasa Arab pun tidak dikuasai.
Walhasil, kalau kita mengharapkan pengajian model kantor yang seperti itu bisa melahirkan orang-orang yang paham detail ilmu agama, mungkin agak berlebihan. Sebab ilmu agama itu lumayan luas dan banyak, tidak cukup hanya disampaikan seminggu sekali. Apalagi tidak punya konsep kurilulum kajian yang terpaket, maka perasanaan gersang dan kurang seperti yang Anda sebutkan itu cukup beralasan.
Idealnya kalau kita ingin menguasai secara penuh tentang ilmu-ilmu keislaman, kita perlu masuk ke sebuah pesantren dan tinggal di dalamnya selama sekian tahun. Atau mendaftarkan diri menjadi mahasisw sebuah perguruan tinggi Islam yang secara intensif mengajarkan ilmu-ilmu keislaman. Tentu saja para tenaga pengajarnya harus dosen yang menguasai ilmunya