Pola keberagamaan seseorang sejatinya baru dapat dinilai ideal dan utuh (kaffah) apabila dibarengi upaya serius bagi pemihakan terhadap orang-orang yang tesisihkan (mustad’afin). Dengan kata lain, tingkat kesalehan ritual-formal-individual haruslah bersinergi dengan kesalehan sosial dan perhatian terhadap aspek kemanusiaan.
Pada hakikatnya, semua agama diturunkan untuk kepentingan manusia, bukan untuk kepentingan Tuhan. Dalam rumusan Imam al-Syathibi, agama disebut sesuatu yang ”bersumber dari Tuhan tapi diperuntukkan bagi manusia” (Ilâhiyatul masdhar wa insâniyyatul maudhû’).
Rumusan ini mengandaikan bahwa pola keberagamaan yang ideal adalah terjadinya pergulatan antara pemenuhan kepentingan Tuhan dan manusia. Ini juga berarti bahwa pelaksanaan ritual-formal-individual agama harus bersinergi dengan upaya pembelaan atas nilai-nilai kemanusiaan. Karena itu, Moeslim Abdurrahman (2005) menandaskan bahwa “kemungkaran sosial lebih berbahaya secara kemanusiaan daripada kelalaian ritual normatif”.
Kini, fenomena religiusitas masyarakat Indonesia mengalami peningkatan yang cukup pesat. Gairah religiusitas masyarakat mengalami eskalasi yang sangat menggembirakan. Namun, tingkat korupsi juga semakin mengharu-biru. Ini kenyataan yang ironis, karena kenyataan itu terjadi di negara berpenduduk Muslim terbesar di dunia.
Penelitian Pusat Pengkajian Islam dan Masyarakat (PPIM) UIN Jakarta beberapa tahun lalu menunjukkan fakta keberagamaan yang memperihatinkan. Ternyata, kini korupsi yang merajalela justru terjadi tatkala masyarakat semakin santri. Masyarakat Indonesia kini semakin taat secara ritual-formal keagamaan. Korupsi tak terbendung meski masjid makin penuh-sesak, dan jamaah yang menunaikan haji semakin membludak.
Selama ini ada asumsi umum cukup kuat di tengah masyarakat bahwa substansi agama terletak pada ritual-formal-individual setiap pemeluk agama. Amalan-amalan ritualistik ini diyakini sebagai kunci penting menuju surga. Ia akan membawa pada keselamatan dan kebahagiaan eskatologis yang abadi. Akibat pola pemahaman agama semacam ini, seseorang yang makin saleh secara ritual keagamaan justru semakin tak peduli dan apatis terhadap persoalan kemanusiaan.