Menurut Sachedina, karena dorongan kuat dan ambisi politik untuk menaklukkan suku dan negara lain, (sebagian) ulama waktu itu—terutama para “ulama negeri” yang menjadi “pelayan” khalifah atau pegawai kerajaan Islam—kemudian mulai menafsirkan teks-teks keislaman dan ayat-ayat Alqur’an yang disesuaikan dengan “kebutuhan politik” dan “nafsu kekuasaan” para penguasa dan rezim Muslim. Sejak saat itulah kata “kafir” mulai ditafsirkan secara serampangan sebagai “non-Muslim” (bisa Kristen, Yahudi, atau agama-agama lokal) sehingga “halal” untuk ditumpas.
Meskipun setiap orang ingin bebas dan selalu mendambakan sebuah kebebasan—termasuk kebebasan beragama (religious freedom)—akan tetapi, ironisnya, tidak semua orang mau memberikan kebebasan itu kepada orang lain. Dalam konteks Islam, misalnya, walaupun kebebasan beragama dan sikap beragama yang inklusif-pluralis adalah sesuatu yang inheren dalam agama ini, diakui secara verbal dalam Alqur’an, dan dipraktekkan oleh Nabi Muhammad, namun, anehnya, tidak semua kaum Muslim bersedia menjalankan ajaran Islam yang sangat fundamental ini.
Bahkan bagi kelompok Islam militan-puritan tertentu, membersihkan kelompok keagamaan dan keislaman di luar mainstream mereka dianggap sebagai bagian dari “misi suci” atau “jihad fi sabilillah” yang berpahala. Realitas inilah, antara lain, yang menyebabkan terjadinya konflik dan kekerasan antara (sebagian) kaum Muslim dengan umat lain sehingga menjadikan indeks toleransi dan kebebasan beragama di negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim sangat rendah dan memprihatinkan. Cermin atas rendahnya kesadaran kaum Muslim dalam hal kebebasan beragama ini terlihat dalam laporan International Religious Freedom Report 2008 yang dikeluarkan Bureau of Democracy, Human Rights, and Labor, U.S. Department of State serta beberapa lembaga survey terkemuka di Amerika seperti The Pew Forum on Religion and Public Life dan Freedom House.
***
Lebih lanjut, alih-alih melaksanakan ajaran Kanjeng Nabi tentang pentingnya menghormati keyakinan orang lain dan vitalnya menjaga doktrin kebebasan beragama, beberapa ormas dan kelompok Islam militan-konservatif justru menuduh ajaran pluralisme dan kebebasan beragama ini sebagai produk kebudayaan sekuler Barat—khususnya Amerika—yang “kafir”. Padahal jauh sebelum founding fathers Amerika merumuskan Bill of Rights tahun 1789 yang dianggap sebagai dokumen “konstitusi tertulis tertua di dunia” yang salah satu pasalnya memuat tentang ajaran kebebasan beragama, Nabi Muhammad sudah memprakarsai pembentukan “Piagam Madinah” yang menanamkan pentingnya menjaga solidaritas keagamaan. Alqur’an yang turun lebih dari empat belas abad yang lalu juga dengan jelas mendeklarasikan tentang pentingnya kebebasan beragama dan sikap beragama yang terbuka-toleran-pluralis sebagai basis menjalin hubungan antar dan intra umat beragama serta dasar membangun peradaban dan kebudayaan manusia yang peaceful dan peka terhadap perbedaan dan kemajemukan.